Skip to main content

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”.

Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan yang lainnya, begitu pula dengan kepribadian manusia. Kepribadian manusia tidak dapat dinilai hanya dari yang terlihat saja melainkan harus melihat dari sisi-sisi yang lain juga. Oleh karenanya, jika kita dapat menerapkan teori bawang merah milik Altman dan Taylor, maka sebuah pertemuan dengan orang baru (seharusnya) menjadi sesuatu yang menyenangkan atau setidaknya menghasilkan kesan baik.

Kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa si A adalah begini dan si B adalah begitu hanya karena tahu sisi luarnya. “Tapi kak, bagaimana caranya agar kita tahu sisi lain atau bagian terdalam dari diri seseorang? Apakah kita harus menggunakan sinar X?”. Benar, kita harus menggunakan sinar X atau rontgen untuk mengetahui sisi terdalam dari diri seseorang, dik -___- Mungkin nanti dialognya akan begini “mas mba moon maap nih, sebaiknya mas mba rontgen dulu deh supaya saya bisa tau mas mba orangnya kek gimana dan supaya hubungan pertemanan kita tidak ada kesalahpahaman di kemudian hari. He he, he he”.

......

Dua tahun yang lalu aku bertemu dengan seseorang yang sekarang menjadi sahabat karibku. Kami dipertemukan dalam sebuah program kampus. Kesan pertama saat aku bertemu dengannya tidaklah begitu baik. Dia terlihat cool, songong, kepala batu, pasir, kerikil, dan sulit untuk akrab dengan teman-teman yang lain. Mungkin itulah kenapa dia mengatakan bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Namun, beberapa waktu terlibat dalam kegiatan yang sama, aku menemukan sisi lain dalam dirinya. Dia pintar, humanis, penyuka anime, buku, humor, dan Mas Syaifur. “Sebenarnya aku selalu ingin tertawa setiap kali mendengar humor-humor kecil” celetuk dia dalam sebuah episode ke-sekian dari perkenalan kami.

Setelah kenal dan bersahabat dengannya, template doaku menjadi bertambah: “Ya Allah, gandakanlah sahabatku ini”. Dan ya, di tahun ini doaku terkabul. Aku menemukan sahabatku tadi dalam kemasan yang lain. Seorang teman yang ku temui dalam sebuah episode kehidupan. Kali pertama melihatnya tentu saja aku terheran-heran. Awalnya aku pikir dia adalah Tatyana Akman, seorang aktris dengan ciri khas rambut keriting yang mengembang. Atau jangan-jangan dia adalah Wizzy? Atau Giring Nidji? Kenapa ada makhluk seperti dia? Pikirku. Tapi siapa aku yang berani mempertanyakan karya cipta Tuhan? Aku masih bertanya-tanya.

Dalam deretan huruf yang berjejer pada nama awal yang dia miliki, aku memilih tiga huruf pertama untuk memanggilnya: Ras. Berbeda dengan teman-teman lain yang ku temui di kelas, Ras terlihat sebagai orang yang irit bicara. Entahlah, mungkin dia sedang menerapkan himbauan Kominfo beberapa tahun lalu untuk menghemat energi, atau mungkin dia sedang cosplay menjadi Limbad, atau barangkali cosplay menjadi pohon? I wonder.
*namanya juga branding (jawabku dalam hati).

Pada episode perkenalan di kelas pun, dia semakin terlihat ingin mempertegas dirinya sebagai orang yang cool dan flat (semoga saja dia bukan termasuk umat flat earth, aamiin). Benar saja, sebagai orang yang flat, semua pertanyaan teman-teman di kelas dijawabnya dengan kalimat “no, I am not”, “no, I have no”, dan “no, thanks”. Melihat hal ini hingga akhirnya membuat seorang tutor memberikan quote (((quote))) “yaaa ini nanti semua pertanyaan kalian akan dijawab dengan no I have no semua”. Ya Allah ingin rasanya aku berkata kasar pada saat itu, “woi ngomong yang panjang, bnxt!”. Astaghfirullah..

Kontras dengan kesan awal, suatu hari dalam episode yang lain, Ras menunjukkan dirinya sebagai orang yang tidak irit bicara. Dia menceritakan mengenai pengalaman berharganya (?) dengan seorang waria. Dia mendeskripsikan cerita demi cerita dengan runtut hingga membuatku bermonolog dalam hati “wow menarik”, “wow kalimatnya tertata rapih”, “wow kayaknya pintar”. Dalam episode ini, aku mulai mengantongi beberapa pertanyaan sebagai feedback dari cerita yang ia lontarkan. Namun karena kendala waktu, beberapa pertanyaan ada yang mendapat jawaban dan beberapa yang lain tetap menjadi pertanyaan.

Dalam episode yang lain aku tidak sengaja melihat dia tengah asik mengobrol dengan seorang teman yang lain. Dalam episode yang lain pula, aku melihat dia tengah melakukan pertolongan pada seorang nyonya-nyonya. Dari situ aku mulai mengubah pandanganku padanya, “wow bisa ngomong juga ternyata, kirain cuma bisa bernapas”. HE HE HE maap ya Ras aku pernah nethink. Serta dalam episode yang lain jugaaaa aku menemukan dia sebagai orang yang memiliki sense of humor. Ini aku temui dalam dua postingan di instagramnya. Dua postingan yang sekarang hanya tersisa satu postingan itu semakin mempertegas kekontrasan dirinya di dunia nyata. HAHAHAHAHAHAHAHA setiap mengingat postingan-postingan itu, rasanya tulang rahang dan tulang rusukku seperti dipaksa untuk berguguran. Sekali lagi, maap ya Raaas aku pernah negative thinkinggggg.

Sebagai penutup tulisan ini, aku ingin mengutip penggalan paragraf dalam buku yang berjudul Filosofi Teras karya Om Piring, “jika akhirnya semua hal buruk yang dibayangkan ternyata tidak terjadi, kita akan merasa lebih bahagia dengan hari kita. Ironisnya, negative thinking mungkin bisa membuat seseorang menjadi lebih bahagia”. (Henry Manampiring, 2018: 133).

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah