Skip to main content

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean


Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku.

Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa.

Aku duduk di halaman samping rumahku sambil sesekali memperhatikan keluarga ayam yang baru menetas, milik ibuku. Sangat menyenangkan ketika memperhatikan seekor induk ayam dan beberapa anaknya yang sedang mengais-ngais tanah. Seketika aku teringat kejadian beberapa hari lalu, yang membuatku berdecak heran. Saat itu induk ayam dan beberapa anaknya dikejar-kejar oleh ayahku karena tertangkap basah sedang mengais-ngais gabah di dapur. Induk ayam yang dikejar-kejar oleh ayahku berhasil melarikan diri sampai di halaman depan rumah meninggalkan anak-anaknya di halaman belakang. Aku rasa induk ayam ini sedikit berlebihan mengingat bahwa ayahku hanya mengeksekusinya di dapur, lalu mengapa dia berlari sampai halaman depan meninggalkan anak-anaknya??

Kejadian mengenai induk ayam dan anaknya ini tidak berhenti sampai di situ. Suatu hari mereka bermain di samping kandang sapi. Entah apa yang sedang mereka debatkan, salah satu dari anaknya tidak henti-hentinya menciap. Mendengar itu, induk ayam tidak bereaksi apa-apa selain terus mengais tanah. Aku tidak ingin berpikiran buruk terlalu jauh mengenai anak ayam dan anaknya ini, mungkin saja si induk ayam tengah mengajarinya cara berpublic speaking dan tengah mencari hadiah untuk anaknya dari hasil mengais tanah. Emas mungkin?

Di tengah keasikan bermain dan belajar, tiba-tiba salah satu dari anak ayam terinjak oleh anak sapi. Dia pun menciap sangat keras. Saudara-saudara ayam yang lain kaget. Induk ayam kaget. Aku pun kaget dan reflek berdiri dari tempatku duduk. Ku lihat induk ayam bergegas tidak melakukan apa-apa, iya tidak melakukan apa-apa. Tidak lama kemudian mereka melanjutkan mengais-ngais tanah. Benar-benar keluarga ayam yang malang. 

Sore ini aku kembali memperhatikan keluarga ayam itu. Kali ini aku tidak sendirian, di sampingku tengah duduk seorang ibu-ibu yang ternyata adalah ibuku. Sebenarnya aku tidak terlalu ingat kapan pertama kali berkenalan dengan ibuku hingga akhirnya kami bisa menjalin hubungan seakrab ini. Duduk santai bersama ibuku ditemani cuaca yang sangat sejuk, benar-benar membuatku merasa terlahir kembali. Maksudku merasa senang, happy. Kebersamaan ini mungkin akan menjadi lebih lengkap jika ditemani dengan sepotong roti dan secangkir kopi hitam. (Astaghfirullah ini bulan puasa). Lagi pula terakhir kali aku meminum kopi hitam, bukannya menambah suasana menjadi hangat, aku justru menjadi pusing padahal tidak sedang skripsian.

“Udan e ngapusi ya” kalimat pembuka yang diucapkan oleh ibuku. Sembari mendengarkan curhatan ibuku mengenai beberapa hal, mataku tertuju pada sederetan tanaman bunga di samping rumahku. Ada bunga matahari, pacar air, lidah mertua, bougenville, dan beberapa bunga lainnya yang tidak familiar di mataku. Ibuku bilang bahwa bunga-bunga tersebut adalah hasil tanam adikku. Dari sini aku menemukan kenyataan baru bahwa selain mencintai aku, ibu, dan ayahku, adikku juga sangat mencintai bumi. Masya Allah tabarakallah...

Minggu ini desaku terlihat sangat bebas dari kendaraan berlalu lalang. Hanya sesekali terlihat kendaraan roda dua yang melintas, suara mesin-mesin bengkel dari ujung jalan, ciapan ayam, dan suara ibuku. Di seberang rumahku terlihat Bik Simai sedang menyiangi rumput di depan rumahnya. Aku bingung mengapa Bik Simai tidak menyiangi rumput tetangga di sebelahnya padahal kan lebih hijau. Sebagai orang yang belum begitu cinta akan bumi, aku pun menanyakan pada ibuku mengapa rumput-rumput itu tidak disemprot saja menggunakan pestisida. Pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul dibenakku setelah melihat beberapa tetannggaku rajin sekali menyiangi rumput padahal halaman rumah mereka sangat luas.

Sebagai orang yang tidak tega melihat tetangga terlalu capek, aku menanyakan pertanyaan itu pada ibuku. Mendengar pertanyaanku itu, ibuku tidak menjelaskan apa pun selain mengatakan bahwa sebaiknya aku membantu tentangggaku menyiangi rumput dari pada nggambleh (banyak omong).

Di tengah obrolan bersama ibuku mengenai berbagai hal, ku lihat matahari mulai menampakkan sinarnya dari balik awan. Tidak terlihat begitu jelas dan terang. Hanya terlihat seperti lampu bohlam yang mulai kehabisan energinya. Ku pikir matahari ini tidak pernah patah semangat, atau dia hanya ingin menertawakan ibuku? Jika iya, mungkin beberapa menit lagi matahari itu akan mendapatkan pertanyaan menohok dari ibuku “Tidur jam berapa semalam, sore begini baru bangun??”.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak