Skip to main content

Bunga Tidur

Tanpa melakukan apa pun, Dea langsung saja merebahkan badannya di tempat tidur. Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, anggota KKN itu telah sampai pada sebuah desa tujuan. Meskipun terdapat banyak rumah, desa itu tetap terlihat sepi seperti tak berpenghuni. Suara gemericik air sungai dan pohon-pohon besar menambah kesan mistis di desa itu. Rumah yang akan ditempati Dea bersama delapan orang temannya benar-benar berada jauh dari keramaian. Untuk sampai pada rumah itu, Dea dan beberapa temannya harus melewati jalan setapak yang menanjak serta bebatuan.  Dalam satu bulan ke depan, rumah itu akan menjadi posko tempat tinggal Dea dan beberapa temannya.

Dea dan keempat temannya telah sampai pada desa itu terlebih dahulu sementara empat teman lainnya akan tiba di hari kedua karena masih menyelesaikan urusan di kampus. Kedatangan lima anggota KKN itu disambut baik oleh Kepala Desa beserta istrinya, bapak pemilik posko dan juga beserta istrinya. Setelah selesai menyampaikan maksud dan tujuan serta perkenalan, mereka dijamu makan oleh pemilik rumah. “Nanti kita salat asar berjamaah di musala ya, setelah itu makan bersama” kata bapak pemilik rumah. 

Dea, Sanur, Zon, Ira, dan Aha mereka masih tidak percaya bahwa di tepi pulau Jawa masih ada kehidupan yang begitu hangat meskipun jauh dari keramaian. Mereka berlima lahir di tahun yang sama. Dea, mahasiswi penggemar kesenian kuda lumping dan suka melamun. Sanur, salah satu teman laki-laki Dea di KKN yang memiliki hobi mengoleksi bungkus rokok. Zon dan Ira, dua teman Dea yang memiliki karakter yang sama; gemar berdebat, rajin ikut aksi, sering rindu Pak Harto, namun phobia ayam. Serta Aha atau Praha, gadis periang yang tidak suka jika ada yang memanggilnya "prahara".

“Dulu lahirnya di dekat pantai Sanur ya, mas?” Tanya Pak Kades kepada Sanur, sebagai obrolan pembuka di sesi makan bersama. Tentu saja Sanur tahu bahwa Pak Kades adalah orang ke-sejuta sekian yang menanyakan perihal namanya itu. "Hehe bukan pak, lahir di Pati. Sanur itu kependekan dari Salman Nurhamid. Saya aslinya Jawa pak, palsunya juga" jawaban Sanur seketika mematahkan pertanyaan Pak Kades.

Setelah selesai makan bersama, ketiga mahasiswa putri itu membereskan peralatan makan untuk dicuci. Jam dinding menunjukkan pukul setengah lima. Hari belum begitu sore namun sinar matahari mulai meninggalkan desa itu. Dea dan kedua temannya mencuci peralatan makan di dapur bagian luar. Delapan meter dari tempat mereka mencuci piring, tumbuh pohon yang sangat besar. Tepat di belakang pohon, hamparan kebun kopi ikut menemani sunyinya desa itu. Tidak terdengar suara apa pun selain suara mereka bertiga, suara jangkrik, dan sesekali suara gagak yang melintas. 

Ira yang memiliki rasa keingintahuan tinggi, mulai tertarik dengan pemandangan di depannya. Lalu didekatilah pohon besar itu. Sementara Dea dan Aha melanjutkan mencuci piring ditemani Ibu pemilik rumah. "Dulu saya pernah berpesan pada kalian untuk mengurungkan pengabdian di desa ini, kenapa kalian tetap melanjutkan?" tanya ibu pemilik rumah dengan dingin sambil menyisiri rambutnya yang panjang sepinggul. Belum sempat Dea dan Aha menjawab pertanyaan itu, azan magrib telah berkumandang.

Mereka berempat pergi ke surau untuk mendirikan salat magrib. Sementara Ira tidak ikut ke surau karena sedang "kedatangan tamu". Setelah selesai melaksanakan salat magrib, keempat mahasiswa itu kembali ke posko. Perjalanan yang sangat menantang melewati jalan yang berbatuan, dan juga mereka harus menyeberangi sungai. Hari sudah mulai gelap. Perjalanan ke posko dibantu dengan senter karena penerangan di desa itu sangat minim. Memasuki jalan setapak menuju posko, mereka berpapasan dengan perempuan paruh baya dengan membawa wadah celurit. Ibu itu mengenakan kebaya dan kain jarik. Tatapan matanya kosong, rambutnya yang memutih menandakan usianya yang sudah senja. Empat mahasiswa itu sempat menyapa namun si ibu tidak menjawab. "Jangan-jangan ibu itu anggota PKI" kalimat Zon, yang semakin percaya bahwa ada anggota PKI masih berkeliaran.

Sesampainya di posko mereka melanjutkan obrolan yang tertunda. Namun tidak dengan Dea. Dea masih memikirkan mengenai ibu tua yang mereka jumpai di jalan tadi. Memikirkan gelap dan sunyi di desa itu. Juga memikirkan kakinya yang tergores oleh kuku dari sepotong tangan manusia yang menahan kakinya ketika akan meninggalkan sungai. Tangan itu coklat keriput dilengkapi dengan kuku-kuku yang panjang. Bagaimana bisa ada tangan tanpa badan? Apa mungkin manusia di abad 21 ini diciptakan secara terpisah? Pikir Dea.

"Ira kemana ya?" pertanyaan Sanur menghentikan obrolan mereka dan juga membuyarkan lamunan Dea. Memang sejak mereka sampai di posko usai salat magrib, mereka tak juga melihat Ira. Bahkan bapak dan ibu pemilik rumah juga mengatakan tak melihat Ira. Tak ingin menunggu lebih lama, mereka memutuskan untuk mencari Ira. Zon dan Sanur mencari di bagian pekarangan belakang, sementara Dea dan Aha di depan. Setengah jam mereka mencari namun tak membuahkan hasil. Aha ingat bahwa terakhir kali Ira meninggalkan cucian piring untuk melihat pohon besar di belakang rumah. Setelah mendengar penuturan Aha, mereka berempat memutuskan untuk kembali ke pekarangan belakang. 

Mereka memberanikan diri untuk mendatangi pohon besar itu meskipun hari sangat gelap. Benar-benar tidak ada penerangan selain senter yang mereka bawa. Suasana malam yang dingin dan mencekam, membuat udara yang melewati leher mereka menjadi sangat terasa. "Guys aku takut guys" ucap Zon yang sedari tadi merasakan merinding. Zon yang sering terjun mengikuti aksi tidak membuatnya tangguh menghadapi kelamnya malam.

Setelah berjalan delapan meter dari posko dan juga memanggil nama Ira, mereka sampai di pohon besar itu. Mereka tetap memanggil-manggil Ira namun tetap tidak ada jawaban. Sanur memutuskan untuk berjalan mendekati pohon itu. Mendekat. Lebih dekat. Sanur mulai berjalan melewati pohon besar itu, sampai dia dikejutkan dengan sebuah pemandangan di balik pohon yang membuat jantungnya berdegup sangat kencang. Desiran darahnya mengalir begitu cepat. Sanur menyeka pandangannya "Guys cepetan kesini!" pekik Sanur kepada tiga temannya. Sontak ketiga temannya mendatangi Sanur. 

Di balik pohon, mereka melihat badan Ira yang tertanggal sudah tidak bernyawa. Badan Ira berdiri tegak dengan celurit menancap di keningnya. Di lehernya tertinggal warna merah bekas jari. Wajah Ira terlihat pucat dengan kedua mata masih terbuka serta darah yang mengucur membasahi wajahnya. Sepertinya Ira telah dicekik. Tidak sampai dua detik mereka melihat pemandangan di balik pohon, mereka meninggalkan jasad Ira dengan lari tunggang-langgang. Mereka masih tidak percaya dengan pemandangan yang baru saja dilihat. 

Sesampainya di posko, mereka berniat memberitahukan kejadian itu kepada pemilik rumah. Tidak ingin berpikir terlalu lama, mereka yang masih panik segera mencari bapak dan ibu posko. Sekali dua kali panggilan namun tak kunjung mendapat jawaban. Di tengah mereka mencari bapak dan ibu pemilik rumah, tiba-tiba listrik padam. Aha dan Zon menjerit, mereka semakin panik. Mereka tidak habis pikir kenapa disaat genting seperti itu, masih sempat listrik padam. Apa mungkin bapak dan ibu lupa membayar tagihan listrik? Ketika mereka dilanda kepanikan, listrik pun seketika menyala.

Listrik telah menyala, namun mereka berempat kembali harus menaikkan level kepanikan, sekali lagi. Di depan mereka terdapat ibu paruh baya yang tadi magrib mereka jumpai. Ibu itu duduk membelakangi mereka. Di depan ibu itu terbaring dua jasad yang ternyata adalah jasad pemilik posko. Kedua jasad itu sudah remuk, dadanya koyak. Ibu paruh baya itu masih sibuk mengunyah sesuatu di tangannya. Sekali saja ibu paruh baya itu menoleh, maka keempat mahasiswa itu akan melihat darah melumuri mulut ibu itu. Rupanya ibu paruh baya telah memakan jantung kedua pemilik posko itu. Seketika kejadian ini mengingatkan Dea pada cerita nabi di mana Hindun memakan jantung Hamzah, sahabat Nabi yang dikenal sebagai singa Allah itu.

"Aaaaaaaaaa!!!" teriak Dea dengan keringat membanjiri tubuhnya. Teriakan Dea seketika membuat semua penghuni rumah kaget. "De bangun De. De kamu tidurnya udah lama banget. Ayo bangun" kata Ira yang berusaha membangunkan sahabatnya. Dea mulai sadar dari mimpinya. Perjalanan tiga jam dari kota membuatnya capai dan ketiduran. Dea sedikit kaget karena di depannya, berdiri Ira, tidak mengalami luka apa pun. Dea masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia masih memperhatikan Ira dengan rasa heran. "Kenapa sih De? Aku tambah cantik ya? Iya kaaaan?" goda Ira. "Yaudah sana cuci muka. Setelah ini kita ke bawah ikut pakde ke sungai" ucap Ira sebelum kemudian meninggalkan Dea.

Dea beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka. Di halaman depan ia melihat seorang ibu paruh baya di mimpinya. Kali ini ibu itu tidak membawa celurit, melainkan membawa keranjang. Ibu paruh baya menjajakan keranjangnya yang berisi bulu babi kepada penghuni posko. Meskipun di usia senja, ibu itu tetap semangat menjajakan barang jualannya. "Bulu babi siapanya babi ngepet?" Tanya Ira yang memancing gelak tawa semua penghuni posko.

Di kamar mandi, Dea mulai mengambil segayung air untuk membasuh mukanya. Di kamar mandi sebelah, ia mendengar suara gemericik air. Didengarnya suara air itu sekali lagi. "Zon, itu kamu ya? Tanya Dea untuk memastikan. Pertanyaan Dea tidak mendapat jawaban. "Zon  aku siram nih!". Byur! Dea melayangkan segayung air di kamar mandi sebelah. "Dea jangan iseng!" Terdengar suara Zon di kamar mandi sebelah. Puas menertawai teman laki-lakinya itu, Dea pun keluar dari kamar mandi meninggalkan  Zon.

Di halaman depan, pakde posko dan teman-temanya sudah siap untuk pergi ke sungai. "Cuci muka apa mandi sih De?" tanya Zon kepada Dea. Dea yang baru saja keluar dari kamar mandi, terkaget karena mendapati Zon sudah berada bersama teman-temannya. "Loh kamu nggak dari kamar mandi Zon?" tanya Dea untuk memastikan. Zon yang baru saja selesai memetik buah kelapa, tentu saja membantah pertanyaan Dea. Sejak dari tadi, bahkan Zon belum ke kamar mandi sama sekali. "Nggak. Makanya ini aku buru-buru mau ke sungai. Kebelet!" jawab Zon.

Comments

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah