Skip to main content

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta.

“Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin.

“Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih.

Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pulang. Lail melintasi halaman rumah ibu kos yang masih berduka. Rumah dan kos itu terletak dalam satu pekarangan, rumah ibu kos di halaman depan sementara kos di halaman belakang. Sehingga apabila terdapat anggota kos yang sangat gaduh maka sudah pasti akan mendapat teguran dari ibu kos. Maklum saja, ibu kos adalah orang yang memiliki jiwa kepekaan di atas rata-rata. “Otak kalian apa sudah berhenti bekerja hah?? Sudah malam masih saja gaduh!” kalimat teramat lembut ibu kos yang sudah tertanam dibenak Lail.

Namun sekarang alarm malam itu sudah tidak pernah terdengar lagi di telinga para anggota kos. Ibu kos sudah tiada. Sudah seminggu sejak kepergian ibu kos tetapi rumah itu masih saja menumpahkan tangisan dan duka yang mendalam. Hampir setiap pagi dan sore, terlihat sang suami ibu kos tengah duduk di teras rumah dengan wajah murung dan sesekali menangis terisak-isak seolah menyesali semua perbuatannya.

Orang-orang menaruh prasangka bahwa sang suami adalah orang pertama yang sangat menyesal atas meninggalnya sang istri. Tentu saja, ketika si istri masih hidup dia selalu melakukan hal yang sangat melukai hati istrinya. Anggota kos sering mendengar mereka bertengkar dan kerap kali juga melihat bekas tangan di pipi ibu kos. Mungkin hal inilah yang menyebabkan psikis ibu kos menjadi rentan sehingga membuatnya menjadi mudah emosi. Terakhir kemarin sebelum kematiannya, kabar mengejutkan datang di telinga anggota kos bahwa suami ibu kos tengah berselingkuh. Mendengar kabar itu, ibu kos memilih mengakhiri hidup dengan cara gantung diri di ruang tamu rumahnya.

Lail melanjutkan langkah kakinya menyusuri lorong kos menuju kamarnya di ujung lorong. Salat isya telah didirikannya satengah jam yang lalu. Lorong kosnya sudah terlihat sangat gelap. Kos itu sangat sepi. Semua penghuni pulang kampung untuk merayakan akhir pekan bersama keluarga mereka. Lail meraih saklar di dekat salah satu kamar kos kemudian menyalakannya. Lorong kos sudah mendapat penerangan, namun pikirannya masih saja kalut, gelap, memikirkan ibu kos yang benar-benar sudah tiada. “Jika dua orang saling mencintai, lalu kenapa saling menyakiti? Apakah menyakiti adalah bagian dari program kerja dalam kehidupan berumah tangga?” Pikirnya.

“Mbak Lail!” Sebuah suara membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia membalik badan, lamunannya buyar. Di hadapannya tengah berdiri seorang wanita berusia hampir sama seperti ibunya. Wanita itu akrab disapa budhe, asisten ibu kos yang sangat ramah. Budhe tersenyum kemudian meminta maaf telah membuatnya kaget. “Ada apa budhe?” Lail mulai berhasil menguasai dirinya. “Tamunya sudah datang mbak. Sudah tiba sejak magrib tadi. Tapi ya gitu, si embaknya itu terlihat murung sekali. Waktu budhe mencoba akrab eh enggak dijawab” Budhe menceritakan tentang tamu yang dimaksud, lalu kemudian budhe beranjak meninggalkan Lail.

Hari ini kamarnya kedatangan tamu dari pulau seberang. Dia akan menginap selama semalam menemani Lail. Dia datang dari Kalimantan dan baru saja menghabiskan empat tahun untuk menyelesaikan studinya di kota tempat Lail kuliah. Menurut penjelasan budhe, tamu ini adalah mahasiswa dari kampus tetangga yang baru saja lulus beberapa bulan lalu. Setelah lulus, dia pulang ke kampung halamannya dan kembali lagi ke kota ini untuk melebur kerinduannya pada kampus tercinta.

Setelah menyusuri lorong beberapa puluh langkah, Lail telah sampai di depan kamarnya. Dia mengetuk lalu membuka pintu. “Hallo..” Sapanya. Pandangannya tertegun pada seorang perempuan berambut sebahu yang tengah duduk di kursi riasnya. Perempuan itu membelakangi Lail. Sebelum sempat melanjutkan kata-katanya, indera penciuman Lail telah dihantam oleh aroma minyak serimpi dan sedikit melati di kamarnya. Lail tidak menyukai aroma ini karena akan mengingatkan pada almarhum kakeknya. Dia berpikir mungkin saja tamunya ini merupakan mantan penjaga tempat pemakaman umum, mungkin saja.

Tamu itu berbalik badan, membalas sapa Lail dengan menyunggingkan senyum tipis. Perempuan itu masih duduk di kursi rias kamar Lail. Rambutnya dibiarkannya tergerai. Matanya dibiarkannya memandang kosong ke lantai. Air mukanya mengisyaratkan bahwa ia tengah menyimpan luka yang mendalam. Mereka berkenalan, namanya Kanti. “Mmm..maaf mbak, kalau boleh tahu pipi mbak kenapa?” Rasa ingin tahu Lail muncul begitu mengetahui luka memar di bawah mata dan sudut bibir Kanti. Mendengar pertanyaan Lail, Kanti tidak lekas menjawab.  Tidak lama kemudian air mata jatuh. Ia membiarkan buliran itu membasahi pipinya. Kanti terisak, masih dengan air muka lesu.

“Dia telah membunuhku” Kanti mulai membuka cerita. “Mem….bunuh? Maksudnya mbak? Oh pacar mbak ya?” Sahut Lail dengan penasaran. “Ya, dia telah membunuhku. Aku sudah mati” Jawab Kanti dengan nada datar dan masih dengan tatapan yang sama, kosong.

Lail tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia mengambil kesimpulan bahwa Kanti mungkin saja baru mendapat perlakuan kasar dari kekasihnya, atau mungkin mantan kekasihnya. “Membunuh? Mati? Hahaha sastra sekali sih orang habis patah hati ini” Pikir Lail. Luka memar di wajah Kanti benar-benar membuat Lail semakin bertanya-tanya. Rasa empatinya muncul. Dia mencoba memeluk tubuh Kanti. Memberi banyak kata-kata semangat dan berharap itu bisa menguatkan Kanti. Tubuh Kanti terasa sangat dingin dirasa oleh Lail. Ah mungkin air mata telah meresap ke dalam tubuhnya sehingga menjadikannya dingin. “Mbak Kanti kedinginan ya?”

Setelah tangis isak Kanti mulai mereda, mereka memutuskan untuk tidur. Lail yang biasanya enggan untuk berbagi selimut, kali ini mulai mau berbagi selimut dengan tamu perempuan yang mengambil semua rasa empatinya itu. Lail terus memperhatikan perempuan yang berbaring di sebelahnya. Mengamati luka memar di pipinya. Kanti terlihat telah tertidur pulas namun Lail masih dapat membaca dan merasakan kepedihan dalam diri Kanti. “Yang sabar ya mbak..” Bisik Lail dan tidak sengaja meneteskan air mata di waktu yang sama.

Kos itu semakin terlihat sunyi. Seperti tidak ada kehidupan. Di dalamnya hanya ada Lail dan Kanti yang juga telah terlelap. Hembusan angin malam di kota budaya itu turut menyapa malam di kos Lail. Tiga jam lagi azan subuh akan berkumandang. Namun malam itu terasa sangat panjang. Udara malam semakin merasuk ke dalam tulang. Lail terbangun. Dia mencoba mengumpulkan kesadaran dengan penuh namun gagal. Matanya samar-samar melihat layar ponsel. Masih dini hari ternyata, pikirnya. 

Lail berbalik badan untuk sekali lagi melihat Kanti. Tidak ada, Kanti tidak ada di sampingnya. Kemana tamunya itu pergi? Pikirnya. Tidak ingin berpikir terlalu jauh, Lail kemudian mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar. Benar saja, Kanti tengah berdiri di sana. Lail dapat melihatnya dari sisi samping. Kanti berdiri menghadap ke gorden jendela. Rambutnya yang panjang sebahu dibiarkannya menutupi mukanya. Kanti masih tertunduk. Lail mulai tersadar dengan apa yang dilihatnya. Kanti berdiri dengan dua kaki yang tidak menyentuh permukaan lantai. Raganya melayang. Diam. Ah mungkin gravitasi bumi sedang nol, pikir Lail.

Pemandangan didepannya membuat Lail bingung. Tak terasa keringat mulai membanjiri tubuhnya, padahal dia tahu bahwa udara di luar sangat dingin. Lail mencoba menepis pikiran negatif itu. Dia memaksakan diri untuk melanjutkan tidur. Sulit.

“Han kamu sudah lihat berita tentang pembunuhan seorang perempuan di kampus tetangga?” Suara whatsapp dari Oman membangunkan Lail. Oman sengaja mengirimkan pesan itu di pagi hari karena, selain rindu tentunya, ia tahu bahwa biasanya Lail masih terjaga sebelum azan subuh berkumandang. Lail membuka pesan itu, kemudian membacanya, lalu bingung. “Han. Dibalas kalik Han. Masa dibaca doang, emangnya koran?” dan masih belum mendapat jawaban dari kekasihnya, Lail.

Tidak begitu kesal karena pesan yang dikirim tidak mendapat balasan, Oman justru menggoda kekasihnya itu dengan mengirimkan tautan berita yang mengabarkan tentang pembunuhan itu. Terkirim. Di kamarnya, Lail pasrah merasakan keringat yang terus membanjiri tubunya. Dasar pacar sialan! Gumamnya. Namun ia juga penasaran dengan pesan yang dikirim oleh kekasihnya itu.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, tautan berita itu telah dibuka oleh Lail. Ia segera membacanya dengan seksama. Sebenarnya Lail tidak terlalu mengikuti tentang berita itu. Dia hanya mengetahui bahwa ada mayat perempuan yang ditemukan di sebuah kos. Hanya itu. Dan pagi itu, Lail mengetahui yang sebenarnya.

Dibacanya berita itu sampai habis. Dari sana Lail tahu bahwa seorang mayat perempuan telah ditemukan di sebuah kos. Mayat itu dipenuhi dengan luka-luka. Di bagian pundak kirinya terdapat bekas luka tusukan. Sementara pada bagaian wajahnya dipenuhi dengan luka memar. Beberapa hari yang lalu pihak berwajib telah mencari siapa pelaku dibalik pembunuhan itu, dan kemarin siang mereka berhasil menangkap pelaku. Pelaku pembunuhan itu diduga adalah kekasih perempuan itu sendiri. Lail masih mengamati isi berita itu. Di sana juga, Lail melihat sebuah foto seorang perempuan dengan wajah teduh. Wajah perempuan yang menjadi korban pembunuhan. Lail mengenalnya. Perempuan yang ia kenal sejak kemarin sore dari budhe kos. Perempuan yang menjadi tamu di kamarnya. Perempuan yang menemaninya semalaman itu.

“Sudah selesai baca beritanya?” Tanya Kanti dari balik punggung Lail.

Saat itu azan subuh terasa sangat panjang delapan ribu tahun bagi Lail.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah