Skip to main content

Berkunjung ke Desamu

Ku ambil kunci motor di meja kamarku. Kemudian aku berdiri sekali lagi di depan cermin memandangi sesosok perempuan yang tentu saja adalah diriku sendiri. Tidak ada yang salah dengan outfit itu, kulot hijau, kaos putih, dan kerudung abu-abu. Sekali lagi aku memperhatikan penampilanku. Dan ya, setiap kali melihat cermin yang berada di lemari kamarku, aku selalu tersenyum tipis melihat satu nama yang tertulis di stiker lemariku; namamu.

Sore itu aku dan ibuku akan pergi ke pasar sore yang terletak di desamu. Kata ibuku, pasar sore di desamu selalu ramai pengunjung yang tengah sibuk menyiapkan hidangan berbuka puasa. Oh ya jelas saja ibu, jika sepi pasti bukan pasar namanya melainkan turnamen catur, pikirku. "Nanti ke pasar sore yuk" ajak ibuku saat siang Ramadan kala itu.

Setelah siap, kami pun berangkat. Meter demi meter jalan ku lalui dengan sesekali mendengarkan pertanyaan-pertanyaan ibuku yang terdengar sayup-sayup. Rasanya waktu itu ingin ku jawab saja "haha iya bu", tapi selalu ku urungkan karena ingat bahwa aku tidak sedang mengendarai ojek online.

Setiap jalan yang ku lalui menuju pasar sore selalu mengingatkanku pada memori-memori dulu yang didominasi olehmu. Aku melewati SMP, tempat di mana pertama kali kita bertemu. Sekolahan itu masih sama. Pintu gerbang utama dengan pos satpam sebelah kanan. Kemudian jalan masuk menuju parkiran dikelilingi dengan pagar mini berwarna hitam putih, dan berdiri tiang bendera di belakang koperasi beserta papan identitas sekolah.

Namun.. Sekilas ku melihat, ada yang berubah dari sekolahan kita. Cat yang dulu menyelimuti dinding-dinding sudah bukan merah jambu melainkan ungu. Halaman depan juga bukan lagi tanah kosong tetapi sudah ditanami pepohonan. Lalu pintu gerbang utara sudah tidak dibuka lagi. Beberapa telah berubah namun aku masih bisa mengenali bangunan-bangunan itu. Bangunan-bangunan yang sangat bersejarah, yang pernah membentuk kita.

Aku melanjutkan perjalananku. Aku mulai memasuki desamu. Jalan Raya depan rumah neneknya Mira, sungai yang menghubungkan desa kita, rumah Pak Sumiran, serta musala depan rumahmu ; semuanya seperti potongan-potongan puzzle yang sedang menyapa ingatanku dan memaksa untuk disusun. Aku dan ibuku begitu menikmati perjalanan kami. Aku sangat mencintai desa itu. Desa yang di mana setiap sudutnya adalah kamu.

Comments

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah