Skip to main content

Dia dan Ketangguhannya

Aku masih melihat dia di sana, berdiri beberapa meter di depan rumahnya, di pinggir jalan. Rumah itu menghadap ke arah jalan dan dihiasi tanaman pagar yang mengelilingi. Dia masih terlihat muram sama seperti saat pertama kami berpapasan. Pasalnya ini bukan kali pertama aku melihat dia berdiri di depan rumahnya dengan raut wajah yang lesu, melainkan setiap hari. Dari Senin hingga Senin ku melewati rumahnya, aku selalu melihat dia dengan pandangan jauh entah kemana. Murung, lesu, lusuh, dan berselimut debu.

Di pagi hari ia sudah berada di sana. Siang hari pun juga. Bahkan sore kemarin aku masih saja melihatnya dengan keadaan yang sama, benar-benar berdiri tepat di titik yang kemarin. Berdiri dengan pandangan lesu sepanjang hari. Benar-benar hobi yang tidak menjanjikan, pikirku.

Sering aku berniat untuk menyapanya atau bahkan mampir dan berbincang lalu kemudian menanyakan mengenai hobinya yang langka itu. Namun selalu kuurungkan. Pernah di suatu hari juga aku sangat tidak tega melihatnya. Berdiri di bawah terik matahari, melihat orang berlalu-lalang,  dan bersahabat dengan debu (?). Apakah ada seseorang yang sedang dia tunggu? Tapi siapa? Jika memang benar ada yang sedang ditunggu, kenapa harus menyiksa diri seperti itu? Bukankah lebih baik dia menunggu di dalam rumah atau bisa juga di teras rumah sambil bermain lompat api bersama keluarganya.

“Mari pak” Sapaku pada sekelompok bapak yang sedang kerja bakti di jalan, di depan rumah dia. Lubang besar di jalan itu tidak pernah hilang. Sepertinya memang sudah menjadi ciri khas. Jika hujan tiba maka  tentu saja lubang itu akan digenangi air. Pernah beberapa waktu hilang, namun bekasnya kemudian muncul lagi dan kembali menjadi lubang yang besar. Tentu saja lubang di jalan itu tidak menimbulkan keresahan jika cuaca sedang cerah. Tetapi akan menimbulkan buah bibir jika cuaca sedang mendung atau bahkan hujan. “Bukannya kemarin sudah diperbaiki ya, kok sudah berlubang lagi?” Tanya bapakku pada suatu pagi.

Di pagi hari saat mengantre jalan bersama bapak, aku masih melihat dia berdiri di tempatnya kemarin dengan raut yang sama. “Wow pagi-pagi sudang murung” pikirku saat melihatnya. Tidak terlalu ambil pusing dengan kebiasaan dia, aku memikirkan dari mana datangnya air itu sehingga membuat lubang di jalan menjadi becek dan susah untuk dilalui. “Harusnya tadi bawa pancing dari rumah, siapa tau ada ikannya” kata bapakku menyampaikan gagasannya. “Bawa serok aja lah coi biar lebih gampang” timpalku. Setelah menunggu antrean akhirnya aku dan bapak mendapat giliran melewati jalan berlubang itu.

Memasuki sore hari, bapak-bapak itu kembali melakukan kerja bakti menimbun lubang di jalan depan rumah dia. Meski pun tidak menutup kemungkinan ketika malam hari akan diguyur hujan. Kemudian mereka akan mendapati lubang yang sudah ditutup akan kembali menganga menjadi kolam kecil di tengah jalan. Jika ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka tentu saja aku dan bapakku akan sangat bersyukur karena cita-cita kami akan segera terwujud; memanen ikan di tengah jalan.

Aku jadi berpikir andai saja jika semua jalan berlubang itu tidak usah diperbaiki  dan dibiarkan begitu saja, lalu kami  hanya perlu menaburkan benih kebencian ikan, maka sudah pasti kami akan memanen ikan setiap waktu.

Dia selalu melihat pemandangan jalan di depan rumahnya. Melihat orang berlalu-lalang. Mungkin juga menertawakan lubang besar di tengah jalan yang berair namun tidak ada ikannya. Menyaksikan truk yang terkadang terjebak di jalan berlubang itu. Atau sekadar tertawa kecil melihat para pengguna jalan mengantre di belakang truk. Dia menyaksikannya tanpa terlewat sedikitpun. Membiarkan debu-debu jalanan menyentuh lembut kulitnya. Membuatnya menjadi semakin terlihat lusuh. 

Lagi pula apa lagi yang dipikirkannya? Toh orang yang ku pikir sedang ditungguinya juga tidak kunjung datang. Dia tetap tidak beranjak dari tempatnya berdiri, setiap hari. Pandangan itu masih menyimpan banyak tanya di benakku. Ada beberapa tanya mengenai kebiasaannya namun tidak pernah terjawab. Misalnya, apakah ada luka di masa lalu yang menyebabkan dia menjadi pemurung? Sering sekali aku ingin menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah atau memberinya payung agar tidak tersengat terik matahari. Namun aku selalu membatalkan keinginanku itu karena  ku tahu bahwa dia hanyalah dia; sebatang pohon pisang di pinggir jalan yang menanti petang.

Comments

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah