Skip to main content

(tanpa judul)

“Kalau ternyata hal buruk yang dibayangkan terjadi, sedihnya ganda dong?” tanyamu kala itu ketika aku membahas mengenai negative thinking pada buku Filosofi Teras.

………..

Sekarang sedihnya benar-benar terasa double. Tidak pernah dicita-citakan tetapi menjadi kenyataan. Melihatmu benar-benar pergi (sebenarnya aku jijik sekali dengan diksi satu ini). Setelah ini akan banyak kebudayaan yang hilang di antara kita. Tidak akan ada lagi orang yang menanyakan hal-hal random, yang membuatku kesal, tapi selalu menjadi candu. "Emang tujuan masak biar apa?" Tanyamu. Tidak akan ada lagi yang mengeluhkan "rambutku apa direbonding aja ya, bosan kribo" tanyamu juga, dan semakin ke sini aku semakin tahu bahwa wacana potong rambut tidak pernah terwujud, setidaknya sampai sekarang. Iya kan? Dan pertanyaan-pertanyaan template lainnya seperti "Kangen siapa?", "Mukbang itu apa sih?".

Di awal farewell dulu, kamu menanyakan apakah aku akan pulang duluan sama sepertimu? Dan ku jawab tidak. Lalu aku balik bertanya padamu “kamu pulang besok?” dan kamu menjawab tidak, justru ternyata kamu memutuskan untuk pulang hari itu juga. Aku tertawa sinis dan menghujanimu dengan sebutan cupu.  “Cupu banget sih lu masak pulang duluan”.

Tapi apakah kamu tahu bahwa dibalik “cupu banget sih lu masak pulang duluan”, ada rombongan air mataku yang siap membanjiri teras campmu. Ada “kamu bisa nggak, nggak usah pulang sore ini, please?”, “Jangan pulang Fahmiii”, “Jangan pulang yaaa, aku punya buku baru loh”, “Hallo pemadam kebakaran?”. Bahkan aku sempat menanyakan temanku yang juga satu fakultas denganmu, tanggal berapakah kampusmu mulai aktif perkuliahan. Setelah mendapat informasi dari temanku dan aku hitung-hitung, sepertinya nggak papa deh kalau kamu stay seminggu lagi, pikirku. Tapi saat itu aku gagal mempengaruhimu untuk tetap tinggal karena aku memilih pulang ke camp, lalu menangis.

Waktu berlalu.. Yogyakarta mempertemukan kita. Meski akhirnya memisahkan lagi.

Katamu, Solo-Jogja terasa begitu jauh. Ya, aku sependapat denganmu. Mungkin saja tidak akan ada hubungan lintas provinsi jika saja dulu kerajaan Mataram Islam tidak terbagi menjadi dua wilayah.

Jaraknya terasa semakin jauh ketika aku memutuskan untuk pergi ke Bandung. Malam itu kita  tiba di satu momen yang begitu menyakitkan. Mungkin menyakitkan untukku tetapi tidak untukmu. Mungkin juga itu saat yang sangat kamu tunggu-tunggu? Aku benar-benar nggak percaya ternyata kita berada juga di fase saling menyakiti. Aku bingung bagaimana bisa ketika Tuhan menganugerahkan mulut pada manusia, tetapi mereka lebih memilih untuk melempar kode daripada ngomong langsung? Mungkin juga ini alasan mengapa mata kuliah semiotik ada.

Ha ha.

Maafin aku yang tidak bisa menerjemahkan semua tanda darimu itu. Mmmm apa aku ambil s1 perdukunan aja ya? Bagaimana menurutmu? Tapi percayalah meski pun begitu, aku tidak pernah sedikit pun melewatkanmu dari deretan doa-doaku, Mi.

Ada satu hal yang sebenarnya ingin aku sampaikan, dan tidak pernah tersampaikan sampai sekarang karena aku pikir momennya tidak pernah tepat. Fahmi, aku sangat bersyukur Tuhan mempertemukan kita. Tuhan mengirimkan mereka, dan juga kamu di waktu yang benar-benar tepat. Aku benar-benar bahagia. Aku selalu berdoa agar perkenalan kita tidak berhenti sampai di situ, namun sepertinya kamu tidak mengamini. Oh kamu termasuk golongan yang aminnya dilirihkan ya? Apa gimana sih?

Omong-omong tentang perpisahan, benar juga kata Mas Seno Gumira Ajidarma bahwa “Hidup mempertemukan kita dengan seseorang, lantas memisahkannya lagi”. Mas Seno ini walau pun tulisannya bangsat tapi kok asik juga ya ternyata. Tapi nggak papa, meski pun begitu aku tetap ngefans sama Mas Seno, dan tetap mencintaimu, tentunya. 

Oiya ajakanmu pergi ke kopi joss dan retell tentang Percy Jackson, masih berlaku nggak sih?



Bandung, November 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah