Beberapa kali aku
mengajukan permohonan pada alam semesta untuk menghapus hari Sabtu di tahun
depan, namun sepertinya tak akan dikabulkan. Tentu saja aku sangat tidak senang
dengan hari Sabtu. Hari di mana aku harus setuju dengan keputusan-keputusan yang
dibuat oleh orang lain; tidak ada pilihan lain untukku.
Di hari Sabtu kutemukan negative vibe lebih
mendominasi dibandingkan sebaliknya. Dan
lagi-lagi aku tidak diperkenankan untuk memilih pilihan yang lain. Atau pada
akhirnya berujung dengan “yaudahlah mau gimana lagi.” Menurutku, Sabtu adalah
hari di mana orang berlomba-lomba untuk menunjukkan padaku akan kepunyaan
mereka; termasuk di dalamnya meliputi power,
harta, relasi, latarbelakang pendidikan, kelas sosial, atau sejenisnya. Dan
ya, tentu saja aku tidak peduli. Aku hanya mempedulikan bagaimana agar bisa bebas
di hari Sabtu. Atau jika mau, kita bisa mengobrol di hari selain Sabtu. Singkatnya, aku hanya
ingin libur.
“Aku tak membantah omongannya. Karena aku tak
perlu tidak setuju dengan pendapatnya. Aku tak tahu apa guna setuju dan tidak
setuju dengan pendapat orang. Bagiku, keduanya tak ada gunanya. Atau mungkin
tak penting. Atau mungkin tak perlu dipikirkan.” –Puthut EA dalam bukunya yang
berjudul Hidup Ini Brengsek, dan Aku Dipaksa Menikmatinya.
Sungguh aku sangat
merindukan Sabtuku yang dulu. Melepaskan diri dari kesibukan selama sepekan. Berbincang
dengan keadaan sekitar, bertemu diriku. Aku hanya ingin bertemu dengan diriku,
sungguh. Mengijinkanku untuk menentukan pilihan-pilihan apa yang akan mengisi dan
menemaniku di hari Sabtu. Dan tentunya aku tidak akan mengijinkan orang-orang ikut
mengisi Sabtuku. Namun, ya, kelihatannya mereka lebih berhak atas diriku.
Aku kesal, tapi ya mau gimana lagi. Ini sama persis dengan apa yang
pernah dituliskan oleh Sabda di salah satu bukunya yang mengatakan bahwa memang “merepotkan
sekali ketika harus marah dengan pilihan orang lain.” Aku ingin marah. Namun sepertinya aku tidak berhak. Apakah marah adalah sebuah
pilihan? Kurasa bukan. Lalu apakah aku benar-benar harus menjadi pohon?
Mungkin.
…………..
Dua buah kartu yang
dinamakan “pasrah” dan kartu “yaudahlah mau gimana lagi” mulai harus kupergunakan
untuk menghadapi Sabtu yang biru. Sampai akhirnya alam semesta memperkenankanku
untuk merasakan keberadaan seseorang, yang kusebut: beliau.
Beliau, seseorang yang
akhir-akhir ini memiliki peran penting dalam mereduksi Sabtu biruku, bahkan
pada biru di hari-hari yang lain juga. Belum ada peristiwa yang spesial tentunya, selain keberadaan
beliau itu sendiri. Akhir-akhir ini aku mulai senang bercerita pada Tuhan
tentangnya. Senang ketika mendengar kabarnya. Atau bahkan hanya sekadar mengeja
namanya. Sejak memutuskan untuk mempedulikannya, aku merasa bahwa endorfinku
mulai meningkat melebihi biasanya. Aku bahagia.
Dalam episode lain, aku
meminta solusi padanya mengenai permasalahan yang sedang kutemui. Sebaris rumusan
masalah kuberikan padanya. Kemudian aku mulai mendeskripsikan permasalahan yang
kumaksudkan. Setelah selesai mendengarkan deskripsi masalah dariku, beliau
mulai menganalisis (wkwkkw I don’t know how
to say menganalisis in other words).
Beliau mulai memberikan
masukan-masukan sebagai penyelesaian masalah yang tengah kutemui. Kudengarkan kata
per kata yang keluar dari lisannya. Otakku mulai menerjemahkan setiap kalimat yang diucapkannya. Meski pun
aku senang mendengarkan orang lain bercerita, tak jarang aku sering bergumam
kalimat sinis seperti “Hei! Omong kosong apa lagi yang harus kudengarkan?”
Namun ketika beliau adalah subjek yang harus kudengarkan, aku mulai melupakan
kalimat sinis itu.
Saat itu adalah kali
ke-sekian kubertemu dengannya. Beliau terlihat sebagai orang yang sangat solutif,
humble dan tentunya mudah untuk
berbincang. Sangat berbeda dengan kali pertama aku bertemu dengannya. Setelah pertemuan
episode saat itu, aku pikir mungkin sebenarnya beliau termasuk orang yang bisa
membahas banyak topik dalam sebuah obrolan. Mungkin. Aku tidak tahu. Yang aku
tahu, sejak kehadirannya, hari-hariku yang biru sudah hampir tidak pernah
kutemukan lagi.
Comments
Post a Comment