Skip to main content

Tutup Buku

"Hai kamu sedang di mana?" Berulang kali aku melihat deretan angka pada jam di gawaiku, dan angka-angka itu terus-menerus bertambah dengan cepat. Pertanyaan Aiq melalui pesan WhatsApp membuatku semakin ingin menghilangkan diri dari hari itu.

Langit Yogyakarta sangat benderang. Ada kemungkinan bahwa karyawan Tuhan sedang berbaik hati pada langit Jogja kala itu, mendung tetapi bersih. Atau mereka sedang memiliki teknik baru dalam melukis sehingga kombinasi langitnya sangat bagus? Mungkin.

Jumat siang itu aku akan menunaikan jadwal bertemu dengan seseorang. Seseorang yang hampir tidak pernah absen dari pikiranku. Pernah dan sedang mencintainya adalah sebuah paket terindah dari Tuhan yang sedang kusyukuri.

Sehari sebelumnya, aku dan Aiq masih berdikusi mengenai pertemuan ini, akankah dilanjut atau dibatalkan saja. Setelah melalui banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan pertemuan dengan seseorang ini.

Sebelumnya, sebelum tiba pada hari itu, aku masih mencoba untuk bernegosiasi pada Tuhan bahwa jika pertemuan kami akan menimbulkan kesedihan baru bagi kami, maka sebaiknya urungkan saja. Bagaimanapun caranya.

Aku masih meragukan dengan jalan cerita hari itu bahwa kami benar-benar akan bertemu.

Datang dulu saja, perihal dia berkenan menemuimu atau tidak, itu urusan belakang.Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri.

Waktu yang telah disepakatipun tiba. Aku memesan ojek menuju tempat kami akan bertemu. "Mbak Ekafim ya?" Seorang mas-mas ojek menyapa setelah beberapa menit ku menunggu. Ingin rasanya pertanyaan itu aku jawab dengan "oh maaf mas, bukan", lalu mas-mas ojek pergi dan aku urung pergi ke tempat yang sudah disepakati.

Tetapi jalan ceritanya tidaklah demikian. 

Aku tiba di tempat yang telah kami sepakati lebih dulu. Tempatnya cukup ramai, terdapat banyak pohon yang mengelilingi, dan sepertinya, akan menjadi tempat berbincang yang sangat mengesankan. “Mas, benar kan pintu masuknya yang ini?” tanyaku pada mas ojek. Beberapa saat kemudian setelah mendapat konfirmasi dari mas ojek, aku mulai melangkahkan kaki memasuki kedai itu.

Mulai tertarik dengan konsep kedai yang disuguhkan; berjejer bangku-bangku di lantai  bawah, panggung mini, dan segerombolan ikan hias yang sepertinya juga sedang memiliki hajatan di dalam kolam kedai itu. Oya, apakah kamu pernah melihat ikan yang sedang tidur?

Mungkin jika aku dan dia tidak jadi bertemu pada hari itu, setidaknya aku akan menggantinya dengan melamun. Mungkin? Atau berbincang pada ikan- ikan di kolam itu perihal apa hubungan kekerabatan mereka dengan  Neptunus, seperti yang diceritakan dalam Mitologi Romawi. Hah? Entahlah, aku sungguh sangat benar-benar siap akan semua kemungkinan-kemungkinan pahit yang akan terjadi pada pertemuan kami hari itu.

Aku mulai kembali melangkahkan kaki menuruni anak tangga dan memilih bangku setelah memesan beberapa sajian. Kulanjutkan semua ketakutanku pada kemungkinan pahit yang akan terjadi. Tapi, tunggu dulu, memangnya dia akan datang? “Haha kubur saja keinginanmu itu, Eka. Mana mungkin dia datang.” Pikirku saat itu.

Omong-omong tentang sebuah pertemuan, aku jadi teringat akan kumcernya Eka Kurniawan. Salah satunya menceritakan tentang perempuan yang datang ke suatu tempat untuk menemui seseorang. Kalau tidak salah sih, judulnya Perempan Pa… Hmm oh ok lewatkan saja soal Kurniawan ini dan mari kita kembali pada ceritaku.

Lima belas menit berlalu, aku masih duduk dan memandangi ikan-ikan di kolam sambil mendengarkan lagu-lagu yang diputar pada pengeras suara di panggung mini kedai itu. Segelas es dan pisang goreng di meja masih menunggu untuk disentuh, namun aku tidak lapar.

Mataku sesekali menoleh pada layar ponsel dan melihat pada pintu masuk, mmm barangkali dia yang datang.

Haha, sudahlah Eka, pulang saja” batinku.

Mataku kembali tertuju pada pintu masuk kedai. Seorang laki-laki berkacamata dengan rambut diikat mendekati meja pemesanan. Aku mengenalnya, dia datang. Setelah terlihat selesai memesan sajian, dia berjalan menuruni anak tangga ke arahku. Mengambil bangku lalu duduk. Aku masih meyakinkan diri bahwa seseorang yang sedang di hadapanku itu benar-benar dia.

Kusambut dia dengan gugup dan senang. Aku tersenyum. Kami saling menanyakan kabar. Dia terlihat sangat baik, dan sepertinya memang sedang baik-baik saja. “Apa kabar?” tanyanya, yang tentu saja jawabanku adalah masih sama; tidak ada yang baik-baik saja setelah kudengar kalimat selamat tinggal yang dia ucapkan beberapa tahun lalu.

Kalimat demi kalimat mulai kami keluarkan mengisi pertemuan di hari itu. Beberapa topik obrolan kami bahas namun sangat sulit sekali untukku menyampaikan inti obrolan. Aku terdiam sejenak, kembali memberanikan diri untuk menyapa matanya dari balik kacamata yang ia kenakan. Aku sangat mengenali mata itu. Oh Tuhan, sepertinya aku memang benar-benar sangat merindukan dia. Dan sangat tidak ingin jika pertemuan dan perkenalan itu berakhir. 

Masih belum menemukan kalimat yang tepat, aku menghela napas.

“Mi.. masih ada sesuatu tertinggal yang ingin aku sampaikan” Aku mencoba untuk menemukan kalimat lanjutan yang sangat tepat, namun belum juga ketemu. Jika kalimatnya diteruskan dengan sejujur-jujurnya, maka akan berpeluang tidak berkenan di hatinya. Sungguh aku benar-benar tidak  ingin melihatnya menjadi sakit dan terbebani. Tapi, bukankah pertemuan kami ini sudah menjadi beban untuknya?

Ada harapan-harapan yang masih tersimpan dariku untuknya. Memasuki menit ke-120, kami masih berada pada perbincangan yang abu-abu. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Pertemuan itu berakhir menggantung, namun sangat berkesan. Tapi yakinlah, lebih jauh dari itu, tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang kamu cintai sedang tidak lagi mencintaimu. 

 

Ditulis setelah pulang dari Yogyakarta, Maret 2021

Comments

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah