Skip to main content

Pak Dekan di Fakultasku

Aku akan menceritakan tentang beliau, Dekan di Fakultasku. Dulu kali pertama bertemu dengan beliau, aku masih berada di semester 6. Waktu itu aku dan teman-teman Public Relationsku sedang sibuk mempersiapkan seminar ke-EO-an, dan beliau menjadi salah satu pengisi acara dalam kegiatan kami.

Kali pertama bertemu beliau, ketika aku meminta tapak asmo untuk surat acara kegiatan kelasku. Kesan pertama yang ku dapat, beliau humble. Usut punya usut ternyata beliau ini juga orang Sumsel. Huwaa aku bertemu dengan tetanggaku. Aku tidak sendirian huwaaaa. Lalu kami pun berbincang menggunakan bahasa daerah kami.

Waktu itu aku penasaran dan langsung ngepoin beliau, Sumselnya di mana, dll. Rupanya beliau ini aslinya orang Pontianak yang memperistri orang Sumsel. Ciyeee bapak. Memang begitulah guys, kalau sudah jodoh, walau lun terpisah dengan pulau-pulau pasti akhirnya akan ketemu juga. Muehehehe.

Dalam obrolan kami ketika itu, beliau berpesan untuk memperluas pertemanan agar pengalaman semakin bertambah dan ngga itu-itu aja.

"Pacaran itu dengan orang yang beda jurusan, dengan yang anak jurusan bahasa Arab atau bahasa Inggris biar ilmunya nular. Nanti kalau sudah mahir, usuran mau lanjut apa putus kan bisa dipikirkan lagi" kata beliau. Hadeuh pak pak, boro-boro mau pacaran, move on aja harus masuk RS dulu pak :(

Setelah pertemuan 2016 lalu, dua tahun kemudian, aku meminta tapak asmo lagi ke beliau untuk persyaratan pendaftaran wisuda.

"Cepat nian kau ni la nak lulus bae, caknyo kemaren baru masuk" kata beliau, dan spontan ku jawab "hehe". Iya pak memang cepat sekali, kan cuma 2tahun 29bulan hehe :"((((

Dalam obrolan kali ini beliau memberikan berbagai saran mengenai hal-hal apa saja yang bisa dilakukan setelah lulus.  Beliau berpesan agar kita tidak istirahat  untuk tetap belajar dan menimba ilmu. Seperti biasa juga, ku jawab dengan "iya pak".
Untung saja aku tidak curhat mengenai harga karet yang naik turun, hadeeeh.

Comments

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah