Skip to main content

Dosbingku

Jumat lalu aku membuat janji dengan dosen pembimbing (dosbing) skripsiku untuk konsultasi di hari senin alias hari ini jam 14.45. Menurutku, ngewasap dosbing adalah sebuah pekerjaan mulia yang membutuhkan keahlian khusus dan mental yang kuat.

Benar saja, setelah lama tidak mengirim pesan kepada beliau, aku mulai ragu dan was-was. Khawatir level.... Haduh aku nanti salah ngomong nggak yaaa? Haduh aku nanti bikin beliau tersinggung nggak yaaa? Haduh gimana kalau nggak dibalas? Haduuuh kalau ternyata salah nomor dan nyasar ke Kim Jong Un, bagaimana Ya Allaaah?? 😭

Alhamdulillah, setelah mengetik pesan selama 37297272297373928816192 menit, dengan berbagai koreksi, membaca ulang, membuang yang tidak perlu, dan menyertakan surat rekomendasi dari kelurahan (hehe ngga deng), pesan itu terkirim juga. Sembari menunggu beliau membalas pesan, aku melakukan ritual wajib seperti beristighfar, membaca sholawat, meminta maaf kepada kedua orang tua, duduk-berdiri-duduk-berdiri, dan bengong.

Sebenarnya rasa was-was itu muncul karena suuzon yang ku amini. Kadang aku sebel juga sama diri sendiri kenapa bisa sepanik itu padahal kemungkinan buruk yang akan terjadi (bisa saja) kecil atau bahkan (bisa saja) tidak ada. Selain itu juga, dosbingku bukan tergolong orang yang killer. Buktinya saja setiap aku bimbingan (dan membawa segudang keluh kesah tentunya), beliau selalu memberikan masukan dan solusi-solusi dari masalah-masalahku dengan sabaaar. Rasanya semua permasalahan yang aku bawa dari rumah, seketika dipecahkan semua oleh beliau kayak mletosi bubble wrap.

Mungkin benar kata orang bijak "ilmu padi semakin tua semakin merunduk". Azik. Bahkan saking nggumunnya dengan beliau, sempat terpikir untuk membawa mukenah dan sajadah ketika sedang bimbingan. Kemudian nanti jika usai bimbingan, aku tinggal bilang "pak saya boleh numpang salat di sini nggak pak? Saya terharu dan ingin mengucapkan syukur 😭".

Setelah menunggu beberapa menit sejak terkirimnya pesan wasapku tadi, akhirnya muncul balasan dari beliau. "14.45". Ya Allaaaaah aku tidak jadi semapuuuut.

Comments

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah