Skip to main content

Layli

"Iya, beliau sangat baik" kata Pak Anas pada suatu hari. Kalimat itu beliau katakan ketika mengetahui bahwa salah satu informan dalam penelitianku adalah rekannya sendiri. Dalam hal ini, aku mengamini alias setuju bahwa informan tersebut memang sangat baik.

Ngomongin orang baik, di awal tahun 2019 ini aku dibuat terharu-haru oleh semesta karena kebaikan orang-orang di sekitarku. Yang ku bahas kali ini adalah, Layli. La, kalo kamu baca tulisan ini, tolong aku dibeliin perkebunan teh apa kopi gitu ya La. Soalnya I love earth hihihihihihi.

Layli, orang yang mulai ku kenal ketika dulu sama-sama dalam kepengurusan HMJ. Orangnya hangat (apa karena sering sarapan api unggun?), nggak sombong, dan solutif. Tapi di beberapa kesempatan, sifat baiknya ketutup dengan kegesrekan yang dipunya. "Untung canteeq" kata nitizen -_-

Skripsian mengantarkanku untuk membagi sambat alias keluh kesah pada dia ini. Berada dalam bimbingan dosen yang sama, membuat kami saling bertukar sambat. Sambat is a must. Semua kesusahan aku bagi pada Layli.  Tapi kalo lagi di masa senang, aku lupa sama dia. Harus. Begitulah template pertemanan, wahai sodara-sodaraku. Astaghfirullaaaaah :(((((((

Pertengahan Februari 2019 termasuk dalam deretan waktu di mana aku menangisi tugas akhirku. Iya sebenarnya ku tak ingin menangis tapi ya gimana lah namanya juga passion. Aku curiga dengan bapakku, jangan-jangan "M" pada namaku itu bukan Mariyanti melainkan Menangis. Such a beautiful name :")

Saat itu aku memutuskan untuk bercerita pada Layli, dan ya, aku mendapatkan sebuah pencerahan. Seperti yang sudah ku bilang di atas, Layli termasuk orang yang solutif. Untung saja dia tidak bilang "sabar Ka" ketika aku sudah sambat panjang lebar huhuhuhu alhamdulillah.

"Ndungo sing mempeng Ka" kalimat pamungkas Layli sebagai penutup kalimat-kalimat pamungkas dia yang lainnya.

Semoga selalu mendapat balasan kebaikan yang sama, La :")

Comments

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah