Skip to main content

Gabut Mahasiswa Semester Old



Aku dan roommate-ku, Eva, beniat untuk menjamu sebuah kejenuhan yang sekian hari ini melanda pikiran kami. Diiringi udara Solo di malam hari yang semakin menggigit, rasanya aku ingin balas menggigit (hah?). Sementara aku dan Eva, semakin menciut bagaikan ikan asin yang sudah tidak asin karena dihembus angin malam ini. Aduh, jadi ingat lagunya Andika Kangen Band heuheuehu.

Pukul setengah delapan malam... "Va keluar yuk" ajakku pada Eva. Setelah selesai merevisi skripsi (huwaaa huks huks), kami memutuskan untuk nyilir. Ya kami ini memang tak tahu diri, sudah tau sedang flu tapi masih saja memutuskan untuk keluar rumah.

Setelah bingung memutuskan untuk nongkrong di mana, kami pun bersepakat untuk nyilir di hik di pinggir jalan sana. Hik ini selalu ramai dengan pengunjung. Ya wajar saja, cemilan-cemilannya sangat yummy dan menawarkan banyak pilihan. Aku jadi ingin penasaran, pernah nggak ya hik di sini diterpa isu miring seperti "pasti pake air liur jin tuh", "alah pake lidah nyi pelet nih", atau barangkali sering dibacain sajak-sajaknya Sapardi Djoko Damono? Makanya ada efek candu? Eaaaaa -_-

Setelah memesan beberapa cemilan, aku dan Eva membuka obrolan dengan duduk lesehan di tikar yang sudah disediakan oleh mas-mas hik. Seperti nyilir-nyilir sebelumnya, aku dan Eva selalu mereview apa-apa yang sudah terjadi hari itu dan hari sebelum-sebelum-sebelum-sebelumnya. Biasanya suasana akan semakin sendu ketika tiba pada sebuah pertanyaan "nanti kalau kita udah balik ke kampung masing-masing, gimana ya?". 

Review pertama kami habiskan dengan membahas sidang munaqosyahnya Juri yang menurut kami berjalan dengan lancar. Tidak henti-hentinya kami berdecak "Juri lancar banget ya jawabnya, kereen". Fyi aja, sidang munaqosyahnya Juri memang epik. Ditambah lagi peserta sidang yang membludak. Kami jadi teringat kalimat bu Kamila pada Juri "wah nanti kalo nraktir, banyak juga ya mba?". Wehehehehehe ada benarnya juga bu Kamila ini, apalagi kalau sampai Juri menghadiahi partisipannya dengan kulkas dua pintu untuk masing-maasing orang :")

Malam itu aku dan Eva diselimuti dengan rasa haru. Benar, haru. Menurut kami, Solo adalah sosok ibu yang sangat hangat (walau pun dengan angin malam yang sangat mencekam). Orang-orang yang kami kenal pun juga sangat hangat dan baik. "Va inget ngga sih sama kalimat yang bilang kalo adanya orang-orang yang mengasihi kita adalah tanda kasih sayang Allah?". Aziiiiiiik.

Memang benar, kadang kita ngga sadar dengan keberadaan orang-orang yang sangaaat mengasihi kita, tetapi kita justru malah fokus dengan satu/dua orang yang menyakiti kita. Ya Allah mau nangis. Benar kata orang, ketika skripsian, kamu akan menemukan mana yang benar-benar teman dan bukan. "Lagian, siapa juga yang mau temenan sama kamu?" tanyaku pada diriku sendiri.

Aku dan Eva tidak habis-habisnya berdecak kagum dengan kepedulian mereka pada kami. Mereka yang ku maksud adalah para dosenku. Pak Fathan, Pak Zakky, Bu Eny, Bu Kamila, Bu Rhesa. Aku setuju jika kalian digandakan agar supaya. Setiap hari aku dan Eva selalu bingung dengan pertanyaan "apa ya bentuk ucapan terima kasih yang tepat untuk mereka?". 

Bayangpun aja, mereka ini kurang keren apa coba? Dosen, mahasiswanya banyak, juga pasti ngurusin keluarga mereka, ada yang sambil kuliah, ada yang mengasuh lembaga, sibuk di sana di sana di sana, lalu ditambah ngurusin kamiiiii? Cry. Sering aku merasa gob*ok ketika menjumpai ada satu topik di skripsiku yang susah ku pahami. Mencoba mencari pencerahan tapi tetap saja susah paham. "Ya trus selama ini aku kuliah tuh ngapain???". Hadeeeeh. 

Mungkin rasa kagum itu juga dialami oleh teman-temanku dengan dosbing atau dosen penguji yang berbeda. Gara-gara hal ini, pernah pada suatu hari aku ingin membuat sebuah tulisan tentang dosen-dosen skripsiku itu. Tapi bukannya merampungkan tulisan, aku malah mandi air mata jika ingat kebaikan mereka. Had333333h ckckck. 

Hm apa aku harus sarapan api unggun agar bisa menjadi pribadi yang hangat?
x

Comments

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah