Skip to main content

Ganesa dan Lele

Sore itu aku dan Aiq pulang dari Ganesa, tempat favorit kami untuk menunaikan tugas mulia. Fyi aja, Ganesa itu merupakan sebuah tempat untuk...... Ya itu deh pokoknya.  Ketika sedang di perjalanan, kami pun tentunya melanjutkan kebiasaan kami yang tak pernah tertinggalkan. Kebiasaan itu adalah -bingung-. 

Bingung kali ini diprakarsai oleh cuaca mendung yang membuat kami lapar. Ya maklum saja, berjam-jam di Ganesa membuat kami merasa sangat kelaparan. Aku baru tau bahwa berjam-jam bernapas di Ganesa bisa membuat selapar ini. Tapi aku nggak tau, apakah metabolismeku yang terlalu cepat ataukah ada komunitas cacing yang sedang merayakan hari raya idul qurban dalam perutku sehingga rasa lapar itu cepat sekali datangnya. Tolong mba Debra dan mas Michael, Ganesanya dikasih kantin dong agar supaya 😑.

Beberapa menit di perjalanan....

"Makan apa ya?" aku dan Aiq saling lempar pertanyaan yang sama. Tentunya pertanyaan itu membuat kami semakin bingung. Aiq yang nggak suka pedas dan aku yang suka pedas semakin mewarnai kebingungan ini. Hadeh rasa-rasanya kami ini ingin mendirikan aliansi perbingunan, dengan tujuan agar Surakarta lebih hijau nan rindang (?????). Sementara itu langit semakin mendung dan cuaca semakin dingin tetapi kami belum menemukan juga mau makan apa. 

Setelah menimbang dan memutuskan, akhirnya kami sepakat untuk makan di sebuah tempat. Usut punya usut ternyata kami tidak membawa uang lebih. Jadilah kami memutuskan untuk patungan. "Lele asam pedas apa lele asam manis Kaq?" tanya Aiq, dan sekali lagi, tentu saja, membuatku bingung. Sebenarnya aku ingin rikues asam pedas tapi ya gimana?? Yang ku ingat, terakhir kali aku meracuni Aiq dengan sayur pedasku.

Pesanan pun datang. Dua porsi nasi, seporsi lele asam manis, dan air minum. Sebagai tes rasa, aku merasa.....ini enak. Seperti percampuran mangga, nanas, lemon, saus, belimbing wuluh dan asam jawa menjadi satu. Rasa asamnya kuat banget tapi tak sekuat hatiku melihatmu dengannya, halaaaah . Ok, beneran, rasa asamnya kuat banget sampai2 kerongkonganku rasanya kayak digigit oleh si rasa asam di lele itu.

"Asam banget ngga sih iq?" Tanyaku pada Aiq. Dia sependapat denganku, bahwa lele asam manis ini memang asam banget.  Bahkan rasa lelenya pun justru hilang. Tetapi Aiq terlihat enjoy saja melahap lele asam manis itu. Hmm sungguh tidak diragukan lagi lidah manis Aiq dalam menetralisir segala rasa yang pernah ada, eh maksudnya rasa asam.

Kami pun tetap menikmati menu yang sudah kami pesan, walau ya begitulah, sedih pokoknya tapi tetap harus bersyukur (kata bu ustadzah). Aku sendiri tidak ingin melewatkan waktu untuk tidak bersuuzon, jangan-jangan lele asam manis ini dicampuri dengan asam lambung sehingga rasa asamnya begitu asaaaam dan sangat amat mendominasi sekali. Allahu akbar. Ditengah keheranan kami yang tak kunjung usai, menu yang kami pesan pun akhirnya habis juga. Alhamdulillah.

Aku rasa menu ini akan lebih cantik jika namanya diubah saja. Bukan lele asam manis. Mmm lele asam asam, mungkin?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tamu 9 Jam

Mereka telah tiba di depan kos putri berwarna hijau toska. Di depannya dihiasi pagar dengan warna senada. Bangunan itu masih terlihat berduka. Oman mematikan mesin motornya dan memandangi wajah kekasihnya, Lail, yang sudah turun lebih dulu. Ia sengaja hanya memakirkan motornya di depan gerbang kos karena harus segera pulang. Sebelum Lail masuk ke dalam kos, seperti biasa, Oman membekalinya dengan berbagai janji-janji manis yang berakhir membusuk. Tetapi meski pun demikian, Lail tetap sangat mencintainya. Sudah hampir sembilan bulan ini Lail sedang menjalani program magang menjadi budak cinta. “Makasih ya babs buat hari ini, buat sharing buku yang sangat mengesankan. Walau pun kamu pengangguran, rasa cintaku ke kamu tetap berhamburan hehe”. Rona pipi Lail mulai memerah seperti punggung Angling Dharma setelah dikerokin. “Ngomong apa sih kok kayak orang tolol?” balas Oman pada sang kekasih. Lail melangkahkan kakinya memasuki kos. Sementara Oman menyalakan motornya kemudian pu

Ras

Ada dua kemungkinan yang akan kita temui dalam hidup: negasi dan konfirmasi. Dari dua kemungkinan itu kita dapat memilih antara ya dan tidak, semisal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan, setidaknya begitulah kata seorang teman. Seorang teman yang lain pernah mengatakan juga bahwa bertemu dengan orang baru hanya akan menambah daftar orang yang akan membencinya. Tentu saja ini menjadi negasi dari hal yang menyenangkan ketika bertemu dengan orang baru. Dari pernyataan kedua temanku tadi, doaku ketika bertemu dengan orang baru tidak pernah berubah: “Ya Allah, semoga dia bukan orang selanjutnya yang akan aku benci hingga hari pembalasan”. Aku setuju pada salah satu dari pernyataan temanku tadi: bertemu dengan orang baru merupakan hal yang menyenangkan (tentunya ini akan terwujud apabila syarat-syaratnya telah dibayar lunas). Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, mak

Matahari yang Bangun Tidur Kesorean

Minggu, akhir pekan yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian orang untuk merebahkan badan setelah melakukan rutinitas padat selama satu pekan. Tidak hanya orang-orang yang ingin beristirahat dari kesibukan, namun matahari di langit desaku pun juga. Matahari yang setiap hari menjadi perbincangan ibu-ibu, kini tak menampakkan teriknya sejak tadi pagi. Mungkin matahari lelah atau tadi malam bergadang panjang sehingga belum bangun dan malu untuk memperlihatkan diri. “Jam segini baru bangun??” tentunya matahari tak ingin mendapatkan pertanyaan itu dari ibu-ibu di desaku. Sejuk udara di hari Minggu ini, membuat adikku berulang kali mengatakan bahwa udaranya terasa sangat segar. “Mbak udaranya segar sekali ya” kalimat yang diucapkkan adikku sebagai pujian hari libur kali ini. Dia mengucapkan kalimat itu sekali lagi, lagi, dan lagi hingga rasanya aku ingin men-silent adikku. Namun kuurungkan niat itu mengingat memang begitulah ujian di bulan puasa. Aku duduk di halaman samping rumah